PEMUDA MEMBUMIKAN KEARIFAN LOKAL, MAMPUKAH?
Kearifan lokal, dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan
sebagai kebijaksanaan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local
knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Ketiganya merujuk pada
bentuk pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang
berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Konsepsi yang disebutkan
terakhir adalah bahasan yang paling sering dijumpai dan dikupas saat ini. Local
genius ini dikenalkan oleh Quaritch Wales, menyusul para antropolog lain yang
mengurainya lebih panjang lagi, Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius
adalah cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan
bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan
kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Lebih tegas lagi, Moendardjito
(dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial
sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya dan bertahan sampai
sekarang.
Di Indonesia sendiri, kesadaran akan kaya dan berartinya
kearifan lokal cenderung terlambat. Selama ini, kearifan lokal tiarap bersama
kepentingan pembangunan yang bersifat sentralistik dan top down. (Ridwan,
2007). Beruntunglah, semangat otonomi daerah berhasil membuka kembali kran
aliran nilai kearifan lokal tersebut. Masyarakat Indonesia mulai membangkitkan
nilai-nilai daerah untuk kepentingan pembangunan menjadi sangat bermakna bagi
perjuangan daerah untuk mencapai prestasi terbaik. Kearifan lokal di berbagai
daerah di seluruh Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat
kepermukaan sebagai bentuk jati diri bangsa. Lebih dari itu, kearifan lokal
juga dapat dijadikan rujukan penyelesaian masalah bangsa. Jero Wacik,
mengatakan, kearifan lokal yang terdapat di berbagai daerah di Nusantara,
seharusnya diangkat dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai dan norma untuk
mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Lalu
masihkan relevan mengusung tema kearifan lokal di era globalisasi seperti saat
ini?
Globalisasi yang dimaksud adalah globalisasi yang erat
gelontoran arus informasi. Arus informasi ini hadir untuk meluaskan paham
internasionalisme, dan menghapuskan batas-batas nation-state. Penghapusan
batas-batas tersebut melintasi bahkan menghapuskan batas-batas kebudayaan,
perilaku, dan nilai-nilai kearifan lokal. Maka wajar jika produk-produk
kearifan lokal Indonesia bisa dibajak orang lain. Menolak globalisasi bukanlah
pilihan tepat, karena itu berarti menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kemajuan teknolgi informatika dan komunikasi dapat dimanfaatkan
sebagai pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal.
Globalisasi sesungguhnya bukan barang baru di Indonesia,
dengan bentuk dan kapasitas yang berbeda globalisasi telah terjadi sejak abad V
Masehi, ketika kerajaan Nusantara saat itu dengan sangat terbuka menerima
budaya dan tradisi Hindu. Pada abad XIII, globalisasi kembali terjadi dengan
masuknya Islam / tradisi Arab. Abad XVI muncul kolonialisme Barat yang
lama-lama mengubah warna budaya menjadi budaya Barat. Uniknya infiltarasi
budaya luar tersebut tidak serta merta meminggirkan budaya Nusantara, lewat
akultrasi cantik lahirlah budaya Hindu dan Arab khas Indonesia, seperti sistem
pemerintahan dan tehnologi menulis, hingga muncullah Arab Pegon dan Arab
Melayu. Di Jawa tradisi wayang justru dijadikan alat untuk syiar agama Islam,
di Melayu tradisi pantun tetap terjaga namun bernafaskan Islam. Di tanah Bugis,
riak tradisi bahari dan perdagangan di lembagakan oleh La Patello Amanagappa
lewat Lontara Allopi-loping bicaranna PabbaluE (Kitab panduan pelayaran dan
hukum perniagaan).
Dunia maya dan kearifan lokal
Menteri Dalam Negeri dalam Musyawarah Majelis Paripurna II
Sekretariat Bersama Lembaga Adat Rumpun Melayu se-Sumatera, Kamis (22/9/2011)
mengungkapkan “Kehidupan ini makin maju dan keradaban pun semakin maju, dengan
keadaan ini kita seharusnya semakin lekat dengan identitas diri kita dan makin
sayang kita kepada kehidupan kita sendiri. Berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan
teknologi yang pesat, dimana melalui alat yang sangat kecil kita dapat
mengakses seluruh informasi yang kita inginkan, dan bagaimana kita memagari
diri kita dari pengaruh globalisasi itulah yang menjadi tantangan, inilah
mengapa kita perlu adat, kearifan lokal untuk memagari diri kita.
Globalisasi dan modernisasi adalah sebuah kepastian, tak
akan terelakkan. Era globalisasi yang diboncengi neoliberalisme dan modernisasi
melaju diiringi pesatnya revolusi IPTEK. Dunia tanpa batas yang menganut aliran
kebebasan, kebebasan berkreatifitas, kebebasan berpendapat, kebebasan
berekspresi. Hal inilah yang nyata terlihat saat ini, daya serap masyarakat
(baca : kawula muda) terhadap budaya global lebih cepat dibanding daya serap
terhadap budaya lokal. Lihatlah gaya berpakaian, gaya berbahasa, teknologi
informatika dan komunikasi, yang kita pakai sekarang. Makin banyak perempuan
Indonesia yang kini lihai memasak didapur, memasak makanan instan dan siap
saji, tidak lagi meramu berbagai macam rempah hasil bumi Indonesia. Media
elektronik selalu kebanjiran film-film Mandarin, Bollywood dan Hollywood. Pasar
tradisional berangsur mati, berganti budaya belaja ala jet set di Mall dan
Supermarket. Kitapun lebih fasih bersilaturahmi dan bertegur sapa lewat dunia
maya dibanding bertatap mata.
Mampukah kearifan lokal eksis di dunia maya? Dunia maya
sesungguhnya dapat dijadikan media alternatif untuk meneguhkan jati diri bangsa
kita dengan kearifan lokalnya. Di Facebook misalnya, dengan kesempatan
kesempatan update status dalam hitungan tiap detik. Kita bisa saja meng-update
status kita dengan status gado-gado, campuran antara bahasa Indonesia dan
bahasa daerah, seperti status Muhammad Nursam berikut yang di up date di
account Facebook-nya pada 16 Juni 2011. Bagi anda yang senang menulis dan
ngeblog, kenapa tidak membuat notes atau “ocehan” tentang budaya kita.
Harapannya, ada teman lain yang membaca dan menjadi tergugah untuk mencari tahu
lebih banyak tentang ocehan tersebut.
Mengembangkan budaya menuju penguatan jati diri bangsa,
membutuhkan keterkaitan lintas sektoral, spasial, struktural multi dimensi dan
interdisipliner. Ia harus bertumpu pada masyarakat sebagai kekuatan dasar
sekaligus penggeraknya. Sebagai sebuah budaya bangsa, budaya yang akan
dijadikan jati diri bangsa Indonesia nantinya haruslah melalui proses lintas
budaya (trans-cultural) dan silang budaya (cross cultural) yang secara
berkelanjutan, mempertemukan nilai-nilai budaya satu dengan lainnya. Tidak
menonjolkan salah satu identitas entnik tertentu, yang akhirnya hanya
melahirkan kecemburuan sosial, dan menjadi bara dalam sekam. Untuk menuju
kesana, dibutuhkan revitalisasi budaya daerah dan perkuatan budaya daerah agar
masyarakat tidak gamang dan kehilangan arah saat harus memperkenalkan
budayanya. Berharap pada generasi tua, tentu bukan lagi saatnya. Sebagaian
besar dari mereka sudah udzur usia dan moral.
Harapannya ada pada kawula muda saat ini, kawula yang
dirujuk disini adalah mereka cinta dengan budaya bangsanya atau setidaknya
ber”kepala tiga kebawah” dari segi usia. Mereka inilah yang harus dipersiapkan
dan dibekali agar mereka mampu menyematkan nilai kearifan lokal itu sebagai
jati diri mereka yang akan berkembang menjadi jati diri bangsa. Kedepan, bekal
itu tentu harus diwariskan diajarkan pula pada anak-anak mereka, generasi
selanjutnya. Sebagai wujud penghapusan dosa, generasi tua tetap diharapkan
untuk terlibat. Setidaknya dengan menjadi narasumber yang menarasi dan
mendeskripsikan bentuk kearifan lokal yang pernah ada dan mereka kenali.
Selanjutnya biarlah kawula muda itu sendiri yang menemukan dan meresapi
kandungan nilainya. Untuk menuju kesana, dibutuhkan langkah strategis berikut
- Pemahaman
atas falsafah budaya lokal harus segera dilakukan ke semua golongan dan
semua strata usia. Dilakukan secara berkelanjutan dengan menggunakan
bahasa Indonesia dan bahasa lokal sebagai bahasa pengantar.
- Pembenahan
dalam pembelajaran Bahasa Lokal.
- Peningkatan
kualitas pendidik, pemangku budaya yang berkelanjutan
- Terus
melestarikan sekaligus mengembangkan kesenian tradisional
- Penggalangan
jejaring antar pengembang kebudayaan secara nasional.
- Peningkatan
peran media cetak, elektronik dan visual termasuk media luar dan dalam
ruangan untuk mempromosikan segala bentuk budaya kita.
- Pemanfaatan
berbagai prasarana budaya yang ada di masyarakat dan dunia pendidikan.
- Pengaitan
kajian-kajian budaya dengan aspek kehidupan kemasyarakatan yang lain,
seperti teknologi, kesehatan, pertanian, pendidikan, agronomi.
- Mengadakn
saresehan falsafah budaya secara rutin
- Penyusunan
PERDA yang melindungi aset budaya baik yang wujud maupun tidak wujud
- Penyusunan
draft hak patent atas karya-karya budaya.
- Mengintegrasikan
muatan budi pekerti di setiap mata pelajaran di lingkungan pendidikan.
Kembali kepertanyaan awal pada judul diatas, mampukan pemuda
kita membumikan kearfian lokalnya. Jawabannya tentu bisa, sejauh pemuda kita
mau membekali dirinya dengan “berwawasan global dan berkarakter lokal”.
Keduanya harus dikuasai secara bersamaan, tidak menjadi generasi yang “gamang
identitas”, seperti “ocehan” Arda Wardahna di Facebook “Mau jadi global,
tanggung. Mau jadi lokal, canggung.
DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi.
Edt. 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius)., Jakarta, Pustaka Jaya
Rahyono,
F.X., 2009, Kearifan Budaya Dalam Kata, Jakarta, Wedatamawidyasastra.
Ridwan,
Nurma Ali., Landasan Keilmuan Kearifan Lokal, dalam Jurna Ibda’ – Jurnal Studi
Islam dan Budaya, Edisi Jan-Jun 2007